Benarkah Bengkulu Tanah Punt? Spt Cerita Kuil Hatshepsut

Bengkulu Tanah Punt

Tanah Punt atau Negeri Punt, disebut pula Pwenet atau Pwene (hieroglif Punt) oleh masyarakat Mesir kuno, adalah mitra dagang Mesir, diketahui memproduksi dan mengekspor emas, dupa, getah kering wewangian, kayumanis, kayu eboni, gading dan hewan-hewan. Daerah ini diketahui dari catatan ekspedisi perdagangan Mesir kuno. Beberapa sarjana Alkitab telah mengidentifikasikannya sebagai Punt.

Penyebutan pertama tentang Tanah Punt berasal dari Kerajaan Lama Mesir. Seperti yang tertera pada Batu Palermo, sekitar 2500 SM pada masa pemerintahan Raja Sahure, sebuah ekspedisi ke Tanah Punt telah kembali dengan membawa ‘ntyw (ånti) berjumlah 80.000 satuan, dimana para ilmuwan percaya bahwa itu adalah kemenyan. Berasal dari pohon dengan nama yang sama, kemenyan adalah getah kering yang digunakan untuk membuat dupa, yang diincar oleh orang-orang Mesir untuk digunakan dalam ritual-ritual di kuil; kemenyan adalah komoditas yang paling berharga yang berasal dari Tanah Punt. Ekspedisi Sahure juga membawa kembali 23.030 batang kayu – kayu adalah barang yang amat berharga untuk negara gurun seperti Mesir – dan 6.000 satuan electrum, sebuah paduan alami emas dan perak, diantara barang-barang lainnya. Fragmen dari dekorasi kuil penyimpanan jenazah raja di Abusir diinterpretasikan sebagai representasi penduduk Punt.

Orang-orang Mesir menyebut Tanah Punt sebagai Ta Netjer. Secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai Tanah Dewata. Karena Ra, dewa matahari, merupakan bagian yang sangat penting dalam jajaran dewa-dewa di Mesir, sejarawan percaya bahwa Tanah Punt juga merupakan tempat tinggalnya para dewa karena lokasinya di sebelah timur Mesir, kearah matahari terbit.

Nama tersebut juga dapat merujuk pada kayu unggul yang diimpor dari Tanah Punt, yang digunakan dalam pembangunan kuil-kuil di Mesir dan kemenyan serta bahan wewangian lainnya yang dibawa dari Tanah Punt dan digunakan secara luas dalam ritual keagamaan Mesir kuno.

Literatur lama (dan sastra non-mainstream saat ini) menyatakan bahwa sebutan “Tanah Dewata”, dapat ditafsirkan sebagai “tanah suci” atau “tanah para leluhur”, berarti bahwa orang Mesir kuno melihat Tanah Punt sebagai tanah leluhur mereka. WM Flinders Petrie percaya bahwa ras Dinasti Mesir berasal dari atau melalui Punt dan EA Wallis Budge menyatakan bahwa tradisi Mesir dalam periode Dinasti menunjukkan bahwa tanah asli orang Mesir adalah Tanah Punt.

Lokasi tepatnya Tanah Punt sampai saat ini tidak diketahui, dan selama bertahun-tahun telah diperkirakan berada di Saudi, Tanduk Afrika, Somalia, Sudan atau Eritrea. Perdebatan terus berlangsung dimana Tanah Punt terletak, para ilmuwan dan sejarawan telah memberikan argumen masing-masing atas klaim mereka.

Benarkah Bengkulu Tanah Punt

Bengkulu Tanah Punt

Sebuah relief pada masa Dinasti ke-4 menggambarkan orang-orang Punt bersama dengan salah satu putra Firaun Khufu, dan didalam sebuah dokumen pada masa Dinasti ke-5 disebutkan adanya perdagangan reguler antara kedua negara. Diantara berbagai macam barang berharga yang dibawa ke Mesir dari Tanah Punt adalah emas, kayu eboni, hewan liar, kulit binatang, gading, tempurung kura-kura, rempah-rempah, kayu berharga, kosmetik, dupa dan pohon kemenyan. Akar pohon kemenyan yang dibawa dari Punt dalam ekspedisi Hatshepsut tahun 1493 SM masih bisa dilihat diluar kompleks Deir el-Bahari.

Pada masa Dinasti ke-12, Tanah Punt diabadikan dalam literatur Mesir yang dikenal dengan Tale of the Shipwrecked Sailor (“Kisah Pelaut yang Terdampar”) dimana seorang pelaut Mesir bertemu dengan “naga agung” yang menyebut dirinya “raja Punt” dan mengirimkan pelaut tersebut kembali ke Mesir dengan membawa emas, rempah-rempah dan hewan yang berharga. Mungkin karena kisah ini, Tanah Punt menjadi lebih dianggap sebagai tanah semi-mitos bagi orang-orang Mesir, dan setelah ekspedisi Hatshepsut, tidak ada tulisan yang ditulis dengan cara yang faktual. Tanah Punt menjadi daya tarik yang mengagumkan bagi orang-orang Mesir sebagai “tanah yang kaya” dan dikenal sebagai Ta Netjer, Tanah Dewata darimana semua hal yang baik datang ke Mesir.

Tanah Punt juga dikaitkan dengan nenek moyang orang-orang Mesir apabila dilihat bahwa mereka melihatnya sebagai tanah air kuno mereka, dan terlebih lagi tanah dimana para dewa tinggal. Persisnya mengapa Tanah Punt berubah dari realitas ke mitologi tidak diketahui, tetapi setelah Dinasti ke-18, Tanah Punt lama kelamaan menghilang dari ingatan orang Mesir dan kemudian masuk kedalam legenda dan cerita rakyat.

Tanah Punt di Relief Kuil Hatshepsut

Bengkulu Tanah Punt

Bukti paling kuat tentang Tanah Punt atau Negeri Punt berasal dari sebuah kuil yang didedikasikan untuk firaun wanita Hatshepsut, dari Dinasti Mesir ke-18, yang memerintah selama lebih dari 20 tahun mulai sekitar tahun 1465 SM. Relief-relief mengenai misi perdagangan ke Tanah Punt terdapat pada dinding kuil tersebut, yang terkenal sebagai ekspedisi Ratu Hatshepsut pada 1493 SM, yang membawa kembali pohon hidup ke Mesir dan menandai keberhasilan pertama upaya pembudidayaan flora dan fauna asing. Diketahui pula nama-nama tetua Tanah Punt selama pemerintahan Hatshepsut: Parehu dan istrinya, Ati. Relief pada dinding kuil tersebut menunjukkan tetua masyarakat Tanah Punt dan istrinya menerima utusan dari Mesir. Dari deskripsi yang masih terbaca, Tanah Punt adalah sebuah masyarakat yang damai dan makmur, dan tampaknya memiliki berbagai macam barang perdagangan yang sangat berharga.

Pada masa Dinasti Mesir ke-18, Ratu Hatshepsut membangun armada Laut Merah untuk memfasilitasi perdagangan di ujung Teluk Aqaba yang mengarah ke selatan menuju Tanah Punt untuk membawa keperluan jenazah ke Karnak dan dipertukarkan dengan emas Nubia. Hatshepsut secara khusus membentuk tim ekspedisi Mesir kuno yang paling terkenal untuk berlayar ke Tanah Punt. Selama pemerintahan Ratu Hatshepsut pada abad ke-15 SM, kapal-kapal telah secara teratur menyeberangi Laut Merah untuk mendapatkan bitumen, tembaga, ukiran amulet, napthadan barang lainnya yang diangkut melalui darat dan Laut Mati menuju ke Eilat di ujung Teluk Aqaba dimana disana diperoleh dupa dan wewangian yang datang dari utara melalui darat dan laut, di sepanjang rute perdagangan yang melalui pegunungan terbentang kearah utara di sepanjang pantai timur Laut Merah.

Penerus Hatshepsut pada Dinasti ke-18, seperti Thutmose III dan Amenhotep III, juga melanjutkan tradisi perdagangan Mesir dengan Tanah Punt. Perdagangan ini terus berlangsung sampai ke awal Dinasti ke-20 dan diakhiri oleh Kerajaan Baru. Semenjak ini, kontak dagang tampaknya telah tidak ada, selain satu pengecualian, dan Tanah Punt berubah menjadi sebagai tanah dongeng dan magis. Pengecualiannya adalah penyebutan Gunung Punt yang terdapat dalam sebuah prasasti pada sebuah tugu yang telah rusak di Tel Defenneh yang berusiakan masa Dinasti ke-26. Juga disebutkan pada prasasti tersebut tentang terjadinya suatu mukjizat dan berkat bahwa hujan telah turun di Gunung Punt pada akhir Desember atau awal Januari.

Relief Kuil Hatshepsut

Dinding-dinding di Djeser-Djeseru mengilustrasikan otobiografi Hatshepsut, termasuk cerita tentang perjalanannya ke Tanah Punt. Juga ditemukan di Djeser-Djeseru adalah akar utuh pohon kemenyan, yang pernah menghiasi halaman depan kuil. Pohon-pohon ini dikumpulkan oleh Hatshepsut dalam ekspedisinya ke Tanah Punt; menurut sejarah, ia membawa lima kapal penuh barang, termasuk flora dan fauna.

opinikoe menyajikan ilustrasi dinding di ruang tengah Deir el-Bahari (Djeser-Djeseru) yang dibuat oleh Johannes Duemichen (1869), Auguste Mariette (1877) dan Eduard Naville (1898) di bawah ini :

(klik gambar untuk memperbesar)

Kemiripan Budaya Tanah Punt dan Bengkulu

Namun berdasarkan penelitian terbaru, ciri kehidupan “Tanah Punt” ternyata sangat mirip dengan budaya Masyarakat di sekitar Pantai Barat Sumatera di bagian selatan, yang kini wilayahnya adalah sekitar provinsi Bengkulu. Ada beberapa kemiripan hubungan dari budaya Negeri Punt dan budaya di Bengkulu, terutama oleh suku Enggano, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Rumah Bangsa Punt

Bengkulu Tanah Punt

Dari beberapa manuskrip dan relief di Kuil Hatshepsut Mesir, digambarkan rumah Bangsa Punt yang mirip seperti rumah-rumah tradisional suku Enggano yang berada di Pulau Enggano di barat Pulau Sumatera bagian selatan, yang pada saat ini masuk ke dalam wilayah Provinsi Bengkulu.

Rumah suku Enggano ini berbentuk seperti kubah dengan lantai datar yang berupa lingkaran. Rumah ini adalah jenis rumah panggung, yang berada lebih dari satu meter dari atas tanah karena disanggah oleh beberapa balok kayu sebagai pondasinya.

Materi dinding dan atap rumah menjadi satu, terdiri dari dedaunan mirip rumbia dan dibentuk seperti kubah. Rumah tradisional ini hanya memiliki satu pintu berupa lubang yang dibuat pada dinding bagian bawah lengkap dengan tangganya yang terbuat dari kayu dan menuju ke bawah.

2. Hiasan Kepala

Bengkulu Tanah Punt

Masih dari beberapa mural dan relief Kuil Hatshepsut di Mesir, terlihat beberapa sosok yang memakai berupa hiasan di kepala atau ikat kepala yang digambarkan dalam kuil tersebut sebagai Bangsa Punt.

Tak hanya bentuk rumah tradisional, namun ternyata ikat kepala yang tergambar sebagai Bangsa Punt pada mural di kuil yang dibangun dinasti Firaun pada era Ratu Hatshepsut itu juga tampak mirip seperti ikat kepala tradisional ciri khas dari Suku Enggano di Pulau Enggano.

3. Belati dan golok

Bengkulu Tanah Punt

Dari beberapa mural dan relief di Kuil Hatshepsut Mesir, juga terlihat sosok-sosok Bangsa Punt yang terlihat terbiasa membawa pisau tradisional yang diselipkan di pinggang. Pisau tradisional oleh bangsa Punt dalam mural itu ternyata juga mirip seperti pisau tradisional yang digunakan Suku Enggano di Pulau Enggano

4. Kosa kata bahasa Mesir Kuno

Bengkulu Tanah Punt

Dari literatur Mesir Kuno, beberapa kosa-kata bangsa Mesir Kuno memiliki kemiripan dengan kosa-kata bahasa suku Rejang di Bengkulu. Berikut beberapa diantaranya dalam tabel dibawah ini :

Kemiripan Hasil Alam Tanah Punt dan Bengkulu

1. Pohon pinang

Bengkulu Tanah Punt

Seperti yang dijelaskan oleh Neville (1898), rumah-rumah penduduk asli Tanah Punt berada dibawah naungan pohon. Terdapat banyak pohon-pohon ini ditanam di Tanah Punt seperti yang ditunjukkan pada relief-relief di Deir el-Bahari. Pada fragmen yang diilustrasikan oleh Neville, terlihat seekor beruk memanjat pohon palem, yang kemungkinan adalah sejenis dengan pohon-pohon di Tanah Punt yang kemudian ditanam di Wilayah Selatan, dari bijinya yang dibawa dari Tanah Punt. Pohon pinang, yang merupakan pohon yang sangat dikenal di Sumatera dan di wilayah Asia Tenggara pada umumnya. Pohon pinang (Areca catechu) adalah jenis pohon palem yang tumbuh di daerah-daerah tropis Pasifik, Asia dan Afrika timur

2. Pohon kemenyan

Bengkulu Tanah Punt

Naville (1898) dan Edwards (1891) menjelaskan dengan begitu banyak kata-kata tentang ảnti atau kemenyan yang terdapat pada relief di Deir el-Bahari. Ảnti (kemenyan) digolongkan sebagai barang mewah yang digunakan secara luas di Mesir untuk ritual keagamaan. Tujuan utama ekspedisi Hatshepsut ke Tanah Punt adalah untuk mendapatkan ảnti. Ảnti (kemenyan), yang terdiri dari empat belas jenis yang berbeda, adalah produk Tanah Punt yang paling penting. Pohon-pohon ini dikumpulkan dalam ekspedisi Hatshepsut ke Tanah Punt; dibawanya menggunakan lima buah kapal barang, selain flora dan fauna lainnya, dan kemudian dibudidayakan di Taman Amon di Wilayah Selatan. Getah kering ảnti yang disadap dari penanaman kembali di Wilayah Selatan kemudian menjadi produk utama daerah tersebut. Akar pohon ảnti yang masih utuh dipercaya ditemukan di Djeser-Djeseru, yang pernah menghiasi halaman di depan kuil.

3. Pohon Eboni

Bengkulu Tanah Punt

Seperti yang dijelaskan oleh Naville (1898) dan Edwards (1891), orang-orang Mesir memperdagangkan kayu eboni dari Tanah Punt. Relief di Deir el-Bahari memperlihatkan orang-orang Mesir sedang memotong cabang-cabang pohon eboni (seperti pada gambar diatas), dengan tulisan “memotong eboni dalam jumlah besar” (Edwards, 1891), kayunya kemudian dibawa ke atas kapal oleh orang-orang negro. Yang tertulis habni (Naville, 1898) umumnya diterjemahkan sebagai “eboni”. Kapal-kapal itu sarat dengan kayu eboni. Dalam antrian panjang menghadap ratu, orang-orang Punt membawa kayu eboni. Tumpukan kayu eboni yang terlihat di Taman Amon adalah diantara barang-barang yang diperdagangkan.

Kayu eboni (kayu hitam) adalah kayu yang dihasilkan sebagian besar oleh pohon dari spesies yang berbeda-beda dalam genus Diospyros. Kayu eboni adalah kayu yang cukup padat sehingga tenggelam dalam air. Kayunya bertekstur halus dan permukaannya dapat menjadi sangat halus setelah dipoles, sehingga menjadi barang-barang hias yang bernilai tinggi.

Selain beberapa hal yang telah disebutkan diatas masih ada beberapa kekayaan alam lainnya yang dibawah dari tanah Punt seperti kayumanis, kamper, balsem, minyak pala, dll.

Lokasi Tanah Punt

Bengkulu Tanah Punt

Selain bersumber dari relief Kuil Hatshepsut, ada beberapa argumen lain yang memberi bukti lokasi Tanah Punt berada di sekitar Pantai Timur Sumatera Bagian Selatan, yaitu: Lokasi di timur yang jauh dari Mesir. Tampak lokasi Pulau Enggano yang berada jauh di timur dari wilayah Mesir, yang mana pada kala itu Bangsa Mesir menggunakan kapal bercadik dalam ekspedisinya.

Terdapat situs-situs purbakala di Sumatera bagian selatan. Di daerah Sumatera Bagian Selatan, banyak ditemukan situs-situs purbakala yang berusia ribuan tahun, diantaranya : Situs Besemah di Sumatra Selatan (berusia 4.500 tahun) dan situs Gua Harimau di Sumatra Selatan (berusia 4.840 tahun).

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita akan peradaban Nusantara dimasa lalu. Jika sobat punya pendapat lain silahkan tinggalkan pesan dikolom komentar.

Sumber Informasi:

Hak Cipta © 2015, Dhani Irwanto, The Land of Punt is Sumatera

Johannes Duemichen, Historiche Inschriften Altägyptischer Denkmäler, Leipzig, 1869

Auguste Mariette-Bey, Deir-El-Bahari, Documents Topographiques, Historiques et Ethnographiques, Recueillis dans Ce Temple, Leipzig JC Hinrichs, 1877

Amelia Ann Blanford Edwards, Pharaohs Fellahs and Explorers, Chapter 8: Queen Hatasu, and Her Expedition to the Land of Punt, Harper & Brothers, New York, 1891 (First edition), pp 261-300

WM Flinders Petrie, AS Murray and FLL Griffith, Tanis, Part 11, Nebesheh (Am) and Defenneh (Tahpanhes), Trubner & Co, London, 1888

Eduardo Naville, The Temple of Deir El Bahari, The Offices of The Egypt Exploration Fund, London, 1898

Shih-Wei Hsu, The Palermo Stone: the Earliest Royal Inscription from Ancient Egypt, Altoriental. Forsch., Akademie Verlag, 37 (2010) 1, 68–89

Kathryn A Bard and Rodolfo Fattovich, The Middle Kingdom Red Sea Harbor at Mersa/Wadi Gawasis, Boston University and University of Naples “l’Orientale”, 2011

Fiona Marshall, Rethinking the Role of Bos indicus in Sub-Sahara Africa, Current Anthropology Vol 30, No 2, 1989.

Elio Modigliani, L’Isola Delle Donne, Viaggio ad Engano, Ulrico Hoepli Editore – Libraio Della Real Casa, Milano, 1894

Pieter J ter Keurs, Enggano, Digital publications of the National Museum of Ethnology, nd

Masakazu Kashio, Dennis V Johnson, Monograph on Benzoin (Balsamic Resin from Styrax Species), RAP Publication: 2001/21, Food and Agriculture Organization of the United Nations Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok, Thailand, 2001

HJ Abrahams, Onycha, Ingredient of the ancient Jewish incense: An attempt at identification in Econ, 1979

Francesca Modugnoa, Erika Ribechinia and Maria Perla Colombini, Aromatic resin characterisation by gas chromatography–mass spectrometry: Raw and archaeological materials, Journal of Chromatography A Volume 1134, Issues 1-2, 17 November 2006, Pages 298-304.

Kathi Keville, Mindy Green, Aromatherapy: A Complete Guide to the Healing Art, nd

Theo van Leeuwen, A Brief History of Mineral Exploration and Mining in Sumatra, Proceedings of Sundaland Resources 2014 MGEI Annual Convention, 2014

OL Helfrich & JAJC Pieters, Proeve van Eene Maleisch-Nederlandsch-Enganeesch Woordenlijst, Batavia Albrecht Rusche, ‘s Hage M Nijhoff, 1891

Archive of Materials for the Study of the Rejang Language of Sumatra http://www.ohio.edu/people/mcginn/rejanglang.htm

Immanuel Velikovsky, From the Exodus to King Akhnaton, Paradigma Ltd, 2009

Charles Robert Jones-Gregorio, Egyptian And West Semitic Words In Sumatra’s Rejang Culture, Dominican School of Theology and Philosophy St Albert the Great College, 1994

Paul Dickson, Dictionary of Middle Egyptian in Gardiner Classification Order, Creative Commons, 2006

Bonn Universitätsklinikum, Bonn scientists shed light on the dark secret of Queen Hatshepsut’s flacon

Leave a Comment